Pencarian

Senin, 23 Februari 2015

BURUNG ENGGANG SAHABAT MASYARAKAT DAYAK



Burung Enggang lebih dikenal di masyarakat Indonesia sebagai burung Rangkong. Suku Dayak  lebih mengenal dengan burung Tingang. Burung ini memiliki nama ilmiah Bucerus yang artinya tanduk sapi dalam Bahasa Yunani. Burung Enggang ini memiliki 57 spesies yang tersebar di Asia dan Afrika, 14 diantaranya terdapat di Indonesa. Sekitar 8 jenis burung enggang dengan warna tubuh perpaduan antara hitam dan putih, sedangkan warna paruhnya merupakan perpaduan warna kuning, jingga dan merah. Ciri khas dari burung ini adalah adanya cula paruh (casque) yang tumbuh di atas paruhnya.
Burung Enggang memiliki berbagai jenis, diantarnya jenis Ganding memiliki ukuran yang besar, ini dapat diliat dari segi marfologinya ukuran tubuh sekitar 100 cm, kepala besar, paruh dan tanduknya yang menutupi bagian dahinya. Jumlah burung ini semakin berkurang di alam liar sehingga menjadi salah satu hewan yang dilindiungi oleh undang-undang. Burung Enggang termasuk hewan Omnivora yaitu pemakan segala dari jenis buah-buhan (buah-buahan hutan) dan hewan seperti kadal, kelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga.
Burung enggang biasa bertengger di pohon-pohon menjulang tinggi, sebelum terbang Enggang memberikan tanda dengan mengeluarkan suara yang khas dengan keras.. Burung ini hidup berkelompok sekitar 2 sampai 10 ekor tiap pohon. Terkadang burung terbang bersama dalam jumlah antara 20-30 ekor. Suara enggang ini sangat khas dan nyaring sekali seakan-akan memberi kode untuk kawanannya di balik pepohonan. Musim telurnya dari bulan April sampai Juli. Kekerabatan dalam keluarga burung ini sangat besar seperti halnya anak-anak burung yang lebih besar membantu burung jantan dewasa menyediakan makan bagi burung betina dan anak-anaknya yang baru menetas.

Klasifikasi Ilmiah Burung Enggang Gading
Kerajaan: Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Coraciiformes
Famili : Bucerotidae
Genus : Buceros
Spesies : Buceros vigil Forster

Peranan burung ini bagi ekosistem? Menurut (M. Yusuf. 2008) dalam (Departemen Kehutanan, 1993) hasil penelitian menunjukkan satwa ini merupakan pemakan buah dan sangat menggemari buah Ara (Ficus sp.) dimana buah ini merupakan pohon kunci bagi kelestarian satwa liar. Berperan dalam penyebaran biji di hutan. Biji-biji tersebar melalui kotorannya karena sistem pencernaan Enggang tidak merusak biji buah. Selain itu, pergerakan Enggang keluar dari pohon penghasil buah membantu menyebarkan biji dan meregenerasi hutan secara alamiah.
Masyarakat Dayak banyak memiliki kepercayaan berkaitan dengan burung ini diantaranya, kepercayaan mengenai panglima tertinggi masyarakat Dayak yaitu Panglima Burung. Burung Enggang adalah penjelmaan dari seorang Panglima Burung yang merupakan sosok yang tinggal di gunung pedalaman kalimantan dan berwujud gaib dan hanya akan hadir saat perang, ia telah hidup beratus-ratus tahun. Umumnya burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan. Bila ada burung enggang yang ditemukan mati, jasadnya tidak dibuang. Bagian kepalanya digunakan untuk hiasan kepala. Rangka kepala burung enggang yang keras bertulang akan tetap awet bentuknya. Hiasan kepala inipun hanya boleh digunakan oleh orang-orang terhormat seperti kepala suku dan kepala adat. Kesakralan burung ini sangat dihormati oleh masyarkat Dayak, di Provinsi Kalimantan Barat burung Enggang gading dijadikan maskot kota.
Sangat disayangkan keberadaan burung ini sangat susah di temui di hutan-hutan Kalimantan, itu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perburuan liar yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dikarenakan burung Enggang memiliki harga jual sangat tinggi bisa mencapai 2,5 juta perkepala, hutan-hutan Borneo yang makin hari makin menipis akibat penebangan illegal dan legal, pembukaan lahan pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit yang makin marak di wilayah Kalimantan.
Muncul berbagai pertanyaan dibenak kita dengan phenomena di atas.
“seberapa petingkah lagi burung Enggang ini untuk orang-orang Dayak.?”
“masihkah sakral burung ini bagi masyrakat Kalimantan.?” dengan susahnya menumukan burung ini di alam. Ketakutan membanyangi benak penulis dalam hal ini akankah generasi penerus ini bisa melihat burung Enggang di alam liar ataukah sebaliknya masyarakat Kalimantan hanya bisa melihat burung Enggang di kebun-kebun binatang di Belanda.
Beberapa faktor di atas harus menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah, masyarakat Dayak, dan kita sebagai orang-orang yang peduli dengan ekosistem hutan Kalimantan sebagai permata yang harus dijaga. Tidak lucukan orang-orang Kalimantan utnuk melihat burung Enggang secara langsung harus datang ke kebun binatang yang ada di Eropa sana, yang seharusnya kita bisa melihat burung tersebut terbang bebas di hutan-hutan Kalimantan.
Mari kita jaga sebuah persahabatan yang telah tejalin selama beratus-ratus tahun yang lalu  antara orang-orang Dayak dan burung Enggang sebagai sarana pelestarian ekosistem alam Kalimantan tercinta ini.

SUMBER:
https://bi0green.wordpress.com/2009/02/07/burung-enggang/
 

Komentar yang membangun sangat dinantikan