Burung Enggang
lebih dikenal di masyarakat Indonesia sebagai burung Rangkong. Suku Dayak lebih mengenal dengan burung Tingang. Burung
ini memiliki nama ilmiah Bucerus yang artinya tanduk sapi dalam Bahasa
Yunani. Burung Enggang ini memiliki 57 spesies yang tersebar di Asia dan
Afrika, 14 diantaranya terdapat di Indonesa. Sekitar 8 jenis burung enggang
dengan warna tubuh perpaduan antara hitam dan putih, sedangkan warna paruhnya
merupakan perpaduan warna kuning, jingga dan merah. Ciri khas dari burung ini
adalah adanya cula paruh (casque) yang tumbuh di atas paruhnya.
Burung Enggang
memiliki berbagai jenis, diantarnya jenis Ganding memiliki ukuran yang besar,
ini dapat diliat dari segi marfologinya ukuran tubuh sekitar 100 cm, kepala
besar, paruh dan tanduknya yang menutupi bagian dahinya. Jumlah burung ini
semakin berkurang di alam liar sehingga menjadi salah satu hewan yang
dilindiungi oleh undang-undang. Burung Enggang termasuk hewan Omnivora yaitu
pemakan segala dari jenis buah-buhan (buah-buahan hutan) dan hewan seperti
kadal, kelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga.
Burung enggang
biasa bertengger di pohon-pohon menjulang tinggi, sebelum terbang Enggang
memberikan tanda dengan mengeluarkan suara yang khas dengan keras.. Burung ini
hidup berkelompok sekitar 2 sampai 10 ekor tiap pohon. Terkadang burung terbang
bersama dalam jumlah antara 20-30 ekor. Suara enggang ini sangat khas dan
nyaring sekali seakan-akan memberi kode untuk kawanannya di balik pepohonan.
Musim telurnya dari bulan April sampai Juli. Kekerabatan dalam keluarga burung
ini sangat besar seperti halnya anak-anak burung yang lebih besar membantu burung
jantan dewasa menyediakan makan bagi burung betina dan anak-anaknya yang baru
menetas.
Klasifikasi Ilmiah Burung Enggang
Gading
Kerajaan: Animalia
Kerajaan: Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Coraciiformes
Famili : Bucerotidae
Genus : Buceros
Spesies : Buceros vigil Forster
Peranan
burung ini bagi ekosistem? Menurut (M. Yusuf. 2008) dalam (Departemen
Kehutanan, 1993) hasil penelitian menunjukkan satwa ini merupakan pemakan buah
dan sangat menggemari buah Ara (Ficus sp.) dimana buah ini merupakan pohon
kunci bagi kelestarian satwa liar. Berperan dalam penyebaran biji di hutan.
Biji-biji tersebar melalui kotorannya karena sistem pencernaan Enggang tidak
merusak biji buah. Selain itu, pergerakan Enggang keluar dari pohon penghasil
buah membantu menyebarkan biji dan meregenerasi hutan secara alamiah.
Masyarakat
Dayak banyak memiliki kepercayaan berkaitan dengan burung ini diantaranya,
kepercayaan mengenai panglima tertinggi masyarakat Dayak yaitu Panglima Burung.
Burung Enggang adalah penjelmaan dari seorang Panglima Burung yang merupakan
sosok yang tinggal di gunung pedalaman kalimantan dan berwujud gaib dan hanya
akan hadir saat perang, ia telah hidup beratus-ratus tahun. Umumnya burung ini
dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan. Bila ada
burung enggang yang ditemukan mati, jasadnya tidak dibuang. Bagian kepalanya
digunakan untuk hiasan kepala. Rangka kepala burung enggang yang keras
bertulang akan tetap awet bentuknya. Hiasan kepala inipun hanya boleh digunakan
oleh orang-orang terhormat seperti kepala suku dan kepala adat. Kesakralan
burung ini sangat dihormati oleh masyarkat Dayak, di Provinsi Kalimantan Barat
burung Enggang gading dijadikan maskot kota.
Sangat
disayangkan keberadaan burung ini sangat susah di temui di hutan-hutan
Kalimantan, itu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perburuan liar
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dikarenakan burung
Enggang memiliki harga jual sangat tinggi bisa mencapai 2,5 juta perkepala,
hutan-hutan Borneo yang makin hari makin menipis akibat penebangan illegal dan
legal, pembukaan lahan pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit yang makin
marak di wilayah Kalimantan.
Muncul berbagai
pertanyaan dibenak kita dengan phenomena di atas.
“seberapa
petingkah lagi burung Enggang ini untuk orang-orang Dayak.?”
“masihkah
sakral burung ini bagi masyrakat Kalimantan.?” dengan susahnya menumukan burung
ini di alam. Ketakutan membanyangi benak penulis dalam hal ini akankah generasi
penerus ini bisa melihat burung Enggang di alam liar ataukah sebaliknya
masyarakat Kalimantan hanya bisa melihat burung Enggang di kebun-kebun binatang
di Belanda.
Beberapa faktor
di atas harus menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah, masyarakat Dayak, dan
kita sebagai orang-orang yang peduli dengan ekosistem hutan Kalimantan sebagai
permata yang harus dijaga. Tidak lucukan orang-orang Kalimantan utnuk melihat
burung Enggang secara langsung harus datang ke kebun binatang yang ada di Eropa
sana, yang seharusnya kita bisa melihat burung tersebut terbang bebas di
hutan-hutan Kalimantan.
Mari kita jaga
sebuah persahabatan yang telah tejalin selama beratus-ratus tahun yang
lalu antara orang-orang Dayak dan burung
Enggang sebagai sarana pelestarian ekosistem alam Kalimantan tercinta ini.
SUMBER:
https://bi0green.wordpress.com/2009/02/07/burung-enggang/
Komentar yang membangun sangat dinantikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar