A. Latar Belakang
Masalah epistemologi bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana
apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada
akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan
batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004)
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal
sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi
epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu
tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi
adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun
fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem
ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi,
kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu
yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).
B. Rumusan Masalah
1. Apa arti dari epistemologi?
2. Apa yang di maksud epistemologi
filsafat?
3. Apa saja objek dan tujuan
epistemologi?
4. Apa landasan dari epistemologi?
5. Apa saja pengaruh-pengaruh dari
epistemologi?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui arti dari
epistemologi.
2. Mengetahui apa yang di maksud
epistemologi filsafat.
3. Mengetahui apa saja objek dan
tujuan epistemologi.
4. Mengetahui apa landasan dari
epistemologi.
5. Mengetahui apa saja
pengaruh-pengaruh dari epistemologi.
D. Metode Penulisan
1. Metode Kepustakaan
2. Metode Internet
A. Arti Epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam
filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung
berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok
kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan
mengenai hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara
linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan
arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang
dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan.
Pengetahuan,pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana
cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan
berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia
mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen
untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna
pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu
sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.[1]
Dalam epistemologi peroses terjadinya pengetahuan
menjadi masalah yang paling mendasar, sebab hal inia kan mewarnai pemikiran
kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya
pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan
a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman,
baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.[2]
B. Epistemologi Filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat
(yaitu yang di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran
kebenaran pengetahan filsafat).
1. Objek filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau
struktur filsafat dalam garis besar terdiri dari ontology, epistemologi, dan
eksiologi.
Isi setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa yang di teliti
(pemikiranya). Jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat pendidikan,
jika yang di pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah filsafat hukum,
dan begitu juga seterusnya. Seberapa luas yang kemungkinaan dapat di pikirkan?
luas sekali.yaitu semua yang ada dan mungkin ada, inilah objek filsafat. Jika
ia memikirkan etika jadilah filsafat etika, dst.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain.
Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti ojek yang ada
dan mungkin ada. Sebenarnaya masih ada objek lain yang di sebut objek forma
yang menjelaskan tentang sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini di
bicarakan pada efistemologi filsafat.
Perlu juga di tegaskan (lagi) bahwa sains meneliti objek-objek yang
ada dan emperis; yang ada tetapi abstak (tidak emperis) tidak dapat meneliti
oleh sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun
yang mungkin ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.[3]
2. Cara memperoleh pengtahuan filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara
mereka memperoleh pengtahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat ke pada
filosof antara lain karena ketelitian mereka, sebelum mmencarai pengetahuan mereka
membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggung jawabkan) cara memperoleh
pengetahauan tersebut. Sifat itu sering kurang di pedulikan kebanyakan orang . pada umumnya orang mementingkan apa
yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini
gegebah, para filosof bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir, berpikir itu tentu menggunakan akal.
Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba sistematika
filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal ini, ia meliht pada jamannya akal
telah di gunakan secara terlalu bebas, telah di gunakan sampai luar batas
kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada massa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat yunani akan
mendominasi.selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen,
akal harus tunduk pada keyakinaaan Kristen; akal di bawah agama (Kristen)
modern, akan kembali mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito
ergo sum-nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia
ingin akal mendominasi filsafat, sejak ini filsafat di dominasi oleh akal. Akal
menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman, francis Baacon
amat yakin pada kekuatan sain dan logika. Sain dan logika di anggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will
Durant,the story of philosophy, 1959:
254) Ccondercet mendukung Bacon : sain dan logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran itu di ikuti pula oleh pemikiran Jerman Christian wolff dan Lessing,
bahkan pemikiran francis mendramatisasi keadaan itu sehingga akal telah di
tuhankan. Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa
alam semesta ini laksana suatu system matematika dan dapat di jelaskan secara a priori
dengan cara mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas
memberikan dukungan kepada keponggohan manusia dengan menggunakan akalnya, karena
itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi
Atheisme dan Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman telah tunduk di
bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbch menawarkan ide yang “edan” itu
di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin,
menjajakan pemikiran ini di Jerman.
Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi
pengikut Spinoza, setelah itu cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh
sampai ke titik nadirnya dan akal telah Berjaya.
David hume (1711-1704) telah meneliti akal.ia berhasil tampil
dengan argumennya tentang kerasionalan agama Kristen. Pengetahuan kita datang
dari pengalaman begitu katanya. Teorinya tabula
rasa menjelaskan pandanngannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita
ketahui hanya materi, karena itu materialisme harus di terima . bila
pengindraan adalah asal- usul pemikiran, maka kesimpulanya haruslah materi
adalah material jiwa.
Tidak demikian kata Uskup georgre Berkeley (1684-1753), analisis
Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnaya tidak ada. David Hume
seorang uskup Irlandia berpendapat lain.katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama dengan mengenal materi , yaitu dengan
persepsi, jadi secara internal. Kesimpulanya ialah bawa jiwa itu bukan
substansi,suatu organ memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak
untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya Huma sudah menghancurkan mind sebagaimana Berkeley menghancurkan
materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan
dirinya berada di tengah- tengah reruntuhan hasil karya sendiri. Jangan kaget
bila anda mendengar kta- kata begini : No
matter never mind. Semua ini gara- gara akal. Akal telah menggunakan melebihi
kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu, di
lain pihak memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan
masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bawa akal itu saja dan ia bekerja
berdasarkan cara yang tidak begitu kita kenal, aturan kerjanya di sebut logika,
agaknya kita dapat mennerima kebenarnya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir
secara mendalam, sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya sesuatu
yang konkret, tetapiyang hendak di ketahui adalah bagian di” belakang” objek
konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak
sesuatu itu, ia ingin mengetahui
sedalam-dalamnya. Kapan pengtahuan itu di katakana mendalam?. Dikatakan
mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya. Dia tidak dapat maju di
situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam.
Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.
Seperti telah di buat di muka, sain mengetahui sebatas fakta
empiris. Ini tidak mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh mana hal
abstrak di belakang fakta empiris itu
dapat di ketahui oleh seseorang, akan banyak terganntung pada kemampuan
berpikir seseorang.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, apa
yang akan kita gunakan ?, ya, akal itu,
apapun kelemahan akal, bahkan sekali pun akal amat di ragukan hakikat
keberadannya, toh akal yang menghasilkan apa yang di sebut filsafat.
Kelihatanya, ada satu hal yang penting di sini : janganlah hidup ini di
gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan seluruhnya oleh
filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum di ketahui secara
jelas identitasnya.[4]
3. Ukuran kebenaran filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya
pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.
Kebenaran teori filsafat di tentukan oleh logis tidaknya teori itu.
Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan
kesimpulan ( teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting,sama
dengan fungsi data pada pengetahuan sain, argument itu terjadi kesatuan dengan
konklasi,konklasi itulah yang di sebut ilmu filsafat. Bobot teori filsafat
justru terletak pada kekuatan argumen, bukan pada kehebatan konkulasi. Karena
argument itu menjadi kesatuan konkulasi,maka boleh juga di terima pendapat yang
mengatakan bahwa filsafat itu argumen kebenaran konkulasi di tentukan 100% oleh
argumennya.[5]
C. Objek dan Tujuan Epistemologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak
jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi
rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama
dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan
harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki
hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya
tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau
teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek
tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “
segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.”
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran
itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan.
Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan
epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini
menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu
ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna
strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran
seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan,
tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab
keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.[6]
D. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah,
yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang
tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi
dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan
demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio
dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk
memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan
atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan
cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan
sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn pegertian
lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles,
karena dirintis oleh Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh
melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir
deduktif atau metode deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang
disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari
kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan premis
minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik
kesimpulan deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu
mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi
yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan
yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun
tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilainya bersifata nisbi dan
selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum
tentu benar menurut kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi
belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan
teori-teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang
benar
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif
inilah, maka memunculkan aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis
Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar,
bila kita mau engumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia
mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi implikasi
dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak
didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.[7]
E. Pengaruh Epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi
berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang
temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu
pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi
terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemologi,
terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang dalam
melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain
maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatig mudah
dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap
peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi.
Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa pegembangan
alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai
penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai
akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.[8]
A. Kesimpulan
1.
Arti epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan
sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian
dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara
langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan
manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan
pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara
linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan
arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang
dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[1] Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan.
2. Epistemologi filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat
(yaitu yang di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran
kebenaran pengetahan filsafat).
3. Objek dan tujuan epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau
teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek
tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “
segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.”
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab
sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan
tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa
suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan
epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini
menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu
ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
4. Landasan epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah,
yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
5. Pengaruh epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi
berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang
temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu
pengetahuan yang kemudian.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap
peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi.
Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa
pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai
penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai
akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan
saran dan kritik dari Ibu pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan
makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya. Aamiin.
Buku
Mujammil Qomar,
2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari metode Rasional Hingga Metode
Kritik, Jakarta: Erlangga.
Sudarsono, 2001. ILMU FILSAFAT, Jakarta:
PT RINEKA CIPTA.
Tafsir Ahmad, 2009. Filsafat Ilmu,
Bandung: PT REMAJA POSDAKARYA.
Internet
http://belongtosarah.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi.html. Di akses Rabu
21 Mei 2014 (12:03-12:50 AM).
[1] http://belongtosarah.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi.html.
Di akses Rabu 21 Mei 2014 (12:03 AM)
[2] Sudarsono.2001.Ilmu Filsafat. hal 138
[3] Ahmad Tafsir.2009.Filsafat Ilmu. hal 43
[6] Qomar Mujammil, epistemologi pendidikan
islam: dari metode rasional hingga metode kritik, ( Jakarta: Erlangga
2005), h. 7
[7] http://belongtosarah.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi.html.
Di akses Rabu 21 Mei 2014 (12:50 AM)
[8] Qomar Mujammil, Epistemologi Pendidikan
Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, ( Jakarta:
Erlangga 2005), h. 27
Komentar yang membangun sangat dinantikan